Rabu, 13 Juni 2012

teknologi pembibitan sapi potong





TEKNOLOGI PEMBIBITAN SAPI POTONG



Disusun oleh :

Khairiah  dan Tatang M. Ibrahim



UNTUK KEGIATAN :

PENDAMPINGAN PROGRAM SWASEMBADA DAGING SAPI/KERBAU (PSDS/K) 2014 UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAGING SAPI >20% DI SUMATERA UTARA




BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SUMATERA UTARA

2011


I. PENDAHULUAN

Teknologi perbibitan sapi potong adalah untuk menghasilkan sapi-sapi unggul yang akan digunakan sebagai indukan atau pejantan guna menghasilkan sapi yang akan dipotong; oleh karena itu, sapi-sapi di usaha perbibitan harus mempunyai penampilan luar (morfologi/performans eksterior), produksi dan reproduksi (sebagai salah satu indikator tentang gambaran mutu genetik sapi) yang lebih dibanding sapi-sapi yang ada di lingkungan/populasinya Di dalam perbibitan, sapi tersebut (betina dan jantan) disebut sapi bibit atau sapi bibit sumber, sedangkan sapi keturunannya yang tidak memenuhi persyaratan nantinya untuk dipotong,
        Usaha pembibitan sapi potong rakyat sebagai tulang punggung pemasok utama sapi bibit dan bakalan dalam negri, sebagian besar berdasarkan pada kemampuan induk dalam memproduksi pedet belum mengarah kepada kualitas bibit yang dihasilkan, sedangkan bibit yang berasal dari plasmanutfah lokal merupakan salah satu sarana penting dalam upaya peningkatan produksi dan produktivitas ternak dalam negri.
Beberapa permasalahan penyebab keterbatasan usaha pembibitan sapi potong dalam negeri ini, antara lain adalah : masih tingginya pemotongan sapi yang memiliki kondisi baik dan induk/betina produktif, yaitu menca­pai 40 %, menyebabkan terjadinya seleksi negatif yang langsung berdampak terjadinya kecenderungan penurunan mutu genetik sapi; terjadinya inbreeding karena terbatasnya ketersediaan pejantan unggul dan kurangnya pengetahuan peternak, serta penurunan populasi sapi antara lain karena performans reproduksi yang rendah. Kondisi ini harus segera dicarikan solusinya, terlebih untuk mendukung keberhasilan Program Nasional Kecukupan Daging 2014 yang telah dicanangkan oleh pemerintah.
            Sapi potong lokal Indonesia mempunyai keragaman genetik yang cukup besar yang mampu beradaptasi pada kondisi lingkungan tropis (udara panas dengan kelembaban rendah dan tatalaksana pemeliharaan ekstensif), kuantitas dan kualitas pakan yang terbatas, relatif tahan serangan penyakit tropis dan parasit, serta performans reproduksinya cukup efisien, sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai materi genetik dalam pengembangan sapi potong yang unggul. Oleh karena itu salah satu solusi yang dapat ditempuh untuk memperbaiki produktivitas (produksi dan reproduksi) sekaligus meningkatkan populasi sapi potong, adalah melalui pengembangan komponen teknologi berupa teknik seleksi dan pengaturan perkawinan (untuk mendapatkan sapi bibit), dan tatalaksana pemeliharaan dalam sistem perbibitan. Peningkatan produktivitas sapi dapat menurunkan jumlah ternak yang dipotong, sehingga akan memperbanyak jumlah kelahiran dan jumlah populasi; kondisi ini diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan efisiensi dan harga jual produksi.


II. SELEKSI BIBIT SUMBER
           
Untuk dapat memperoleh sapi bibit, pada prinsipnya harus dilakukan dua kegiatan, yaitu seleksi dan persilangan.

2. 1. Seleksi
Seleksi adalah tindakan memilih sapi yang mempunyai sifat yang dikehendaki dan membuang sapi yang tidak mempunyai sifat yang dikehendaki. Sebagai contoh : seorang peternak menginginkan sapi yang mempunyai pertumbuhan badan cepat, maka peternak harus melakukan pemilihan sapi-sapi dengan ukuran tubuh besar dan membuang yang ukurannya kecil. Seleksi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

2. 1. a. Penjaringan dari populasi
            Penjaringan adalah tindakan seleksi yang dilakukan di suatu populasi (biasanya di peternakan rakyat atau di pasar hewan) untuk langsung mendapatkan sapi yang terbaik penampilan luar dari sifat tertentu yang dikehendakinya (Gambar 1). Penjaringan ini cocok dilakukan untuk usaha perbibitan  berskala kecil (usaha ternak rakyat), menengah dan besar dengan menggunakan skema seleksi sistem terbuka (Opened Nucleous Breeding Sceme).



Populasi sapi A                      Populasi sapi B               Populasi sapi C












 
PENJARINGAN










 
Sapi terpilih                      Sapi terpilih                       Sapi terpilih














 
Calon bibit sumber di populasi sapi D, E, dsb
Gambar 1. Alur penjaringan dan performans luar sapi muda hasil penjaringan untuk calon bibit sumber


2. 1.b. Seleksi keturunan
             Seleksi keturunan adalah tindakan memilih sapi dari suatu populasi terbatas yang telah diketahui silsilah keturunannya, untuk mendapatkan sapi calon pengganti bibit sumber. Cara ini (Gambar 2) dapat diterapkan pada usaha perbibitan skala menengah ke atas yang menggunakan skema seleksi sistem tertutup (Closed Nucleous Breeding Sceme). Data silsilah sapi yang diseleksi harus jelas untuk menghindari terjadinya perkawin keluarga.

2. 2. Persilangan
Persilangan adalah suatu tindakan melakukan perkawinan secara bergantian dari dua atau lebih sapi yang masing-masing mempunyai sifat tertentu yang saling berbeda, dengan tujuan mengumpulkan sifat-sifat yang dikehendaki tersebut dari beberapa sapi menjadi ke dalam satu sapi. Sebagai contoh : seorang peternak menginginkan mempunyai sapi dengan sifat pertumbuhan badannya cepat, warna badannya coklat dan tahan terhadap udara panas; maka peternak tersebut harus melakukan persilangan dengan mengawinkan antara sapi yang mempunyai percepatan pertumbuhan badan tinggi dengan sapi yang warna tubuhnya coklat, kemudian hasil anaknya dikawinkan dengan sapi yang tahan terhadap udara panas. Sapi hasil perkawinan dua tahap tersebut, diharapkan mempunyai tiga sifat yang dikehendaki (Gambar 2). Untuk memperoleh sapi bibit sumber yang lebih baik dan lebih cepat, biasanya dilakukan

BIBIT SUMBER PENGGANTI

                                                            Sapi keturunannya   S       
            Sapi bibit sumber terbaik        Sapi keturunannya   E
                                                            Sapi keturunannya   L    Sapi terseleksi
 Populasi                                                                              E
                                                                   Sapi keturunannya     K   Sapi terseleksi
            Sapi bibit sumber terbaik       Sapi keturunannya    S
                                                           Sapi keturunannya    I


 


BIBIT SUMBER PENGGANTI
Gambar 2. Alur seleksi keturunan untuk mendapatkan calon pengganti sapi bibit sumber kombinasi yang bergantian dan terus menerus antara tindakan seleksi dengan persilangan (antar sapi hasil seleksi saling disilangkan, kemudian hasil keturunannya diseleksi lagi untuk disilangkan lagi dan seterusnya).

                     Sapi I                                    Sapi II                           Sapi III
pertumbuhan badan cepat        warna badan coklat         tahan udara panas














 
                                  DIKAWINKAN                               
                                                  
                                           Sapi A
       pertumbuhan badan cepat dan warna badan coklat          DIKAWINKAN


 
Sapi B
              Pertumbuhan badan cepat, warna badan coklat dan tahan udara panas

Gambar 3. Alur menyilangkan tiga sifat pada sapi

3. 3. Kriteria seleksi
            Salah satu pengertian dari seleksi, yaitu untuk mendapatkan sapi yang dikehendaki dan membuang sapi yang tidak dikehendaki, mengandung arti bahwa dalam melakukan seleksi harus ada kriteria yang jelas tentang sifat apa yang akan dipilih, bagaimana cara mengukur sifat tersebut dan berapa standar minimal dari sifat yang diukur tersebut.
Untuk dapat memperoleh peningkatan mutu genetik (sebagai hasil seleksi) pada generasi berikutnya, maka harus ditentukan sifat apa yang akan diseleksi. Sifat seleksi yang dipilih harus yang bersifat menurun  dan biasanya berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai, yaitu sifat-sifat yang bernilai ekonomis tinggi. Penjelasan lebih lengkap tentang sifat-sifat yang biasanya digunakan sebagai dasar seleksi, dijelaskan dalam buku “aplikasi pemuliabiakan ternak di lapangan” (Hardjosubroto, 1994).
Beberapa ciri-ciri tubuh luar yang dapat langsung dilihat dan digunakan sebagai salah satu kriteria awal atau kriteria pelengkap dalam melakukan seleksi adalah :
1.            Kesesuaian warna tubuh dengan bangsanya, seperti sapi PO harus berwarna putih, sapi Madura harus berwarna coklat, sapi Bali betina harus berwarna merah bata dan yang jantan saat telah dewasa berwarna hitam Keserasian bentuk dan ukuran antara kepala, leher dan tubuh.
2.            Ukuran tinggi punuk/gumba minimal pada sapi (calon) pejantan atau tinggi pinggul minimal pada sapi (calon) indukan, harus mengacu pada standar bibit populasi setempat, standar populasi bibit kawasan setempat atau standar bibit Nasional.
3.            Tidak tampak adanya cacat tubuh yang dapat menurun, baik yang dominan (terjadi di sapi yan bersangkutan) maupun yang resesif (tidak terjadi di sapi yang bersangkutan, tetapi terjadi di sapi tetua dan atau di sapi keturunannya)
4.            Untuk sapi pejantan testes harus simetris (bentuk dan ukuran yang sama antara scrotum kanan dan kiri), menggantung dan ukuran lingkar terbesarnya lebih dari 32 cm (32–37 cm).
5.            Kondisi sapi sehat yang ditunjukkan dengan mata yang bersinar, gerakannya lincah tetapi tidak liar dan tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan pada organ reproduksi luar, serta bebas dari penyakit menular terutama yang dapat disebarkan melalui aktifitas reproduksi.
Sebagai contoh sederhananya : apabila peternak berkeinginan mendapatkan sapi potong lokal yang mempunyai sifat pertumbuhan cepat, maka seleksi yang harus dilakukan adalah memilih sapi bakalan yang mempunyai berat dan ukuran badan yang tinggi; cara mengukurnya dengan menimbang badan dan mengukur lingkar dada/tinggi punuk sapi saat umur 7 dan atau 12 bulan; besarnya standar minimal berat badan dan lingkar dada/tinggi punuk, dapat ditentukan dari rata-rata populasi (sapi dengan umur yang sama yang ada di daerah sekitar peternak; semakin banyak sapi yang diukur, data yang diperoleh semakin tepat), ditambah sedikitnya satu standar deviasi nya. Cara menghitungnya sebagai berikut :
Misalnya akan menghitung sifat berat badan sapi saat umur 7 bulan, maka :
·   rata-rata = total berat badan semua sapi yang ditimbang dibagi jumlah sapi yang ditimbang
     = misalnya A kg dibagi B ekor = C kg
·   standar deviasi = akar dari ((A – C)2 dibagi B) = misal D kg
·   jadi, sapi yang dipilih pada seleksi untuk dijadikan sapi bibit sumber, adalah yang minimal mempunyai berat badan sebesar C + D kg.
   
Dalam melakukan seleksi, sangat penting diperhatikan juga adanya cacat/kelainan penampilan tubuhnya, misalnya : warna tubuh sapi yang tidak sesuai dengan bangsanya (Peranakan Ongole tidak putih, sapi Bali tidak merah bata/hitam belang putih); punggung sapi yang melengkung, testis sapi calon pejantan yang tidak simetris. Kriteria tentang catat/kelainan penampilan tubuh ini banyak ditemukan di peternakan rakyat dan dipercaya mempengaruhi produktivitas ternak. 
            Sapi yang dapat digolongkan sebagai bibit sumber (indukan dan pejantan penghasil sapi-sapi unggul), jumlahnya di dalam populasi di suatu wilayah, biasanya sangat terbatas karena sebagian besar merupakan bibit sapi (bakalan) yang dipelihara untuk dipotong.

III. POLA PERBIBITAN
Setelah sapi bibit sumber (indukan dan pejantan) tersedia dan siap dikembangkan untuk perbanyakan sapi bibit sumber dan penghasil bibit sapi untuk dipotong, maka perlu adanya pengaturan/teknik pengelolaannya. Secara umum ada 2 pola teknik, yaitu :
3. 1. Skala Pemeliharaan Kecil
            Teknik ini sangat sederhana sehingga dapat diterapkan pada usaha perbibitan yang dilakukan oleh peternak rakyat dengan skala pemeliharaan induk kurang dari 10 ekor dan ketersediaan pejantan terbatas dengan mutu genetik seadanya. Penerapan teknik ini tetap bertujuan meningkatkan mutu genetik sapi yang ada agar dapat dihasilkan sapi dengan produktivitas yang semakin meningkat. Namun demikian, mengingat ketersediaan mutu dan jumlah sapi bibit di peternak rakyat yang terbatas, maka hasil yang diperoleh tidak akan terlalu besar atau membutuhkan waktu yang cukup lama.
Pada teknik ini hanya dibutuhkan sapi-sapi bibit sumber berupa induk-induk di peternak rakyat yang mempunyai performans sifat tertentu (yang dikehendaki) di atas rata-rata populasinya dan beberapa ekor pejantan di peternak yang dianggap unggul di daerah tersebut. Perkawinan dilakukan secara alam dengan cara memutar secara bergantian sapi-sapi pejantannya. Sapi induk bibit sumber dapat digunakan terus selama umur produktifnya (sekitar umur 3 sampai 10 tahun), sedangkan pejantan bibit sumber harus diganti setiap 3 tahun. Sangat disarankan, pejantan pengganti adalah yang berasal dari luar wilayah setempat dan jelas tidak ada hubungan keturunan dengan pejantan sebelumnya atau indukan yang ada. Apabila pejantan pengganti berasal dari hasil anakan sapi-sapi induk yang ada, maka untuk menghindari terjadinya perkawinan antar keluarga (in breeding), pejantan baru tersebut tidak boleh mengawini induknya atau sapi saudara kandung maupun saudara tirinya (Gambar 4).


 
                                          BIBIT SUMBER PEJANTAN PENGGANTI
                                                                                                                                      
                sapi pejantan I   sapi pejantan II                                            
 


 sapi induk terbaik A   sapi induk terbaik B   sapi induk terbaik C                      









 
     anak sapi I.A.      anak sapi I.B.          anak sapi I.C.  ► jantan terbaik
         anak sapi II.A.     anak sapi II.B.        anak sapi II.C.► jantan terbaik

Gambar 4 Aliran sapi bibit sumber pada sistem perbibitan skala kecil
Sapi-sapi hasil anakan diseleksi berdasarkan penampilan dan pada umur sesuai sifat tertentu yang dikehendaki. Beberapa sapi terbaik yang terpilih dari hasil seleksi, harus mempunyai catatan sederhana tentang siapa induk dan pejantannya, serta diusahakan untuk tidak dipotong atau keluar dari daerahnya, karena dapat digunakan sebagai perbanyakan atau pengganti bibit sumber yang di afkir. Sapi-sapi hasil anakan bibit sumber yang tidak lolos seleksi, sebaiknya dipelihara untuk tujuan dipotong; apabila terpaksa, hanya yang betina dapat digunakan sebagai bibit sapi indukan.

3. 2. Skala Pemeliharaan Menengah ke Atas
Teknik perbibitan sapi pada skala pemeliharaan menengah ke atas (jumlah induk puluhan sampai ratusan) tidak sesederhana seperti pada skala kecil, karena membutuhkan pengaturan yang lebih detail dan pasti, serta diperlukannya peran beberapa pihak di luar peternak. Sumadi (2006) menyatakan bahwa pada usaha perbibitan dengan skala pemeliharaan menengah ke atas, dibutuhkan adanya kerjasama minimal dari tiga pelaku perbibitan, yaitu suatu organisasi yang berfungsi sebagai stasiun uji performans (SUP), BIB atau BIBD dan peternak rakyat (8).
Kebutuhan sapi sebagai populasi dasarnya, untuk calon induk minimal sebanyak 100 ekor dan untuk pejantannya antara 5 – 10 ekor (5 - 10 % induk). Skor kondisi badan sapi bibit sumber diusahakan bertahan pada angka antara 6 – 7 (tidak terlalu kurus sampai tidak terlalu gemuk, Gambar 9), yaitu suatu rentang kondisi badan sapi yang mendukung terjadinya aktifitas reproduksi yang normal.
SUP dapat berupa peternak/kelompok peternak pilihan/instansi pemerintah atau swasta. Tugasnya adalah menjaring/menyeleksi sapi-sapi di peternak rakyat untuk dipelihara dan di uji performans (produksi dan reproduksi) di SUP, kemudian sapi-sapi yang terpilih/ memenuhi persyaratan menjadi sapi bibit sumber, diserahkan ke BIB sebagai penghasil semen beku atau langsung di sebarkan ke peternak sebagai pejantan. SUP bekerja sama dengan petugas IB dan peternak bertugas mencatat silsilah keturunan/identitas tetua dari sapi-sapi yang diperkirakan lolos seleksi/penjaringan. Sapi di SUP yang lolos ke BIB/BIBD, datanya silsilah dan hasil uji performans nya diserahkan ke BIB/BIBD.
BIB atau BIBD bertugas memelihara sapi bibit sumber pejantan terpilih hasil seleksi/ penjaringan SUP, serta memproduksi dan menyebarkan semen bekunya sebagai sumber bibit unggul ke peternak melalui program inseminasi buatan.
Peternak rakyat yang terhimpun dalam suatu kelompok peternak, bertugas memelihara dan mempertahankan sapi yang mempunyai mutu genetik baik, untuk dijadikan sebagai indukan bibit sumber penghasil sapi bibit dan atau indukan bibit sapi dengan IB menggunakan semen beku produksi BIB/BIBD; membesarkan sapi-sapi hasil IB; sapi terpilih dalam seleksi/ penjaringan yang dilakukan SUP harus diserahkan (dijual) ke pihak SUP.


BIB/BIBD
Kelompok Peternak








 
Kelompok Peternak                            JANTAN TERPILIH
                                                                               
        Kelompok Peternak
                                
                                                                                                       SUP
                   BIBIT SUMBER PEJANTAN PENGGANTI                                                    
Gambar 5. Aliran bibit sumber pada sistem perbibitan skala menengah ke atas

Melalui penerapan teknik ini, disamping pelaksanaan program peningkatan mutu genetik sapinya selalu terkontrol baik oleh SUP maupun oleh BIB/BIBD dan menggunakan ternak dalam jumlah yang cukup banyak, maka hasil yang diperoleh akan jauh lebih cepat (waktu dan persentase) dibanding teknik skala pemeliharaan kecil.

IV. PERKAWINAN DAN PRODUKSI BIBIT
            Manajemen perkawinan pada usaha perbibitan sapi potong tidak dapat dipisahkan dengan manajemen produksi bibit, karena tujuan usahanya adalah perbanyakan sapi dengan produk akhir berupa sapi bibit (bukan bibit sapi). Untuk dapat mencapai hal tersebut, salah satu kunci pokok yang berperanan di dalamnya adalah teknik perkawinannya.
            Dalam memproduksi sapi bibit, harus dihindari terjadinya perkawinan keluarga (in breeding), yaitu perkawinan antara induk dengan pejantan yang masih ada hubungan keturun an yang sama. Telah banyak terbukti bahwa perkawinan keluarga akan memperbesar peluang kemungkinan menghasilkan keturunan/anak dengan tampilan produksi yang rendah (meskipun induk dan pejantannya terbukti mempunyai tampilan produksi yang tinggi) atau bahkan cacat (mandul, kerdil, sakit-sakitan, dll). Oleh karena itu di dalam usaha perbibitan sapi potong, usia produktif sapi (usia untuk menghasilkan anak) induk maupun pejantan harus selalu dibatasi dan diawasi untuk memperkecil kemungkinan terjadinya anak yang telah dewasa mengawini/ dikawini oleh salah satu orang tuanya.
            Disamping dilakukan pembatasan usia produktif, juga harus diupayakan jumlah sapi (terutama yang induk) yang digunakan untuk menghasilkan sapi bibit adalah cukup banyak, sehingga memperbesar pilihan sapi pejantan untuk mengawini sapi induk yang ada.
            Sapi induk yang ideal digunakan sebagai bibit sumber, dimulai pada umur sekitar 18 – 24 bulan yaitu ditandai dengan mulai bunting yang pertama, kemudian harus sudah dikeluarkan sebagai indukan pada umur sekitar 6 – 7 tahun atau sudah beranak 4 – 5 kali.
            Sapi pejantan ideal digunakan sebagai bibit sumber, dimulai pada umur sekitar 24 – 28 bulan yaitu ditandai dengan mulai intensifnya mengawini sapi-sapi betina, kemudian harus sudah dikeluarkan sebagai pejantan pada umur sekitar 5 – 6 tahun. Untuk mempertahan kan kemampuan maksimalnya agar mampu membuntingi sapi indukan, maka seekor sapi jantan yang telah intensif menjadi seekor pejantan dapat digunakan untuk mengawini 10 – 15 indukan pada sistem perkawinan alam di kandang kelompok, atau 15 – 20 indukan per bulan pada sistem perkawinan alam di kandang individu. Untuk produksi semen beku, seekor pejantan dapat ditampung semennya 1- 2 kali per minggu.
            Agar sapi bibit sumber dapat menghasilkan pedet setiap tahunnya (11 – 14 bulan), maka harus dilakukan pengaturan reproduksinya sebagai berikut :
a.            Pengaturan teknik pelaksanaan perkawinan sapi
Dimulai dengan melakukan pengamatan birahi pada setiap ekor sapi induk dan perkawinan dilakukan antara satu induk sapi dengan satu pejantan (kawin alam). Pengamatan birahi dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung dengan tanda-tanda birahi. Apabila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan apabila birahi sore dikawinkan pada besok pagi hingga siang. Persentase kejadian birahi yang terbanyak pada pagi hari.  Setelah 6-12 jam terlihat gejala birahi, sapi induk dibawa dan diikat ke kandang kawin yang dapat dibuat dari besi atau kayu. Kemudian didatangkan pejantan yang dituntun oleh dua orang dan dikawinkan dengan induk yang birahi tersebut minimal dengan dua kali ejakulasi.
Setelah 21 hari (hari ke 18-23) dari perkawinan, dilakukan pengamatan birahi lagi dan apabila tidak ada gejala birahi hinggga dua siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan sapi induk tersebut berhasil bunting. Untuk meyakinkan bunting tidaknya, setelah 60 hari sejak di kawinkan, dapat dilakukan pemeriksaan kebuntingan dengan palpasi rektal, yaitu adanya pembesaran uterus seperti balon karet (10-16 cm) dan setelah hari ke 90 sebesar anak tikus. Induk setelah bunting tetap berada dalam kandang individu hingga beranak, namun ketika beranak diharapkan induk di keluarkan dari kandang individu selama kurang lebih 7-10 hari dan selanjutnya dimasukkan ke kandang invidu lagi.
b.            Induk menyusui pedetnya tidak lebih dari 7 bulan sejak beranak
c.Maksimal 3 bulan setelah beranak, induk harus sudah dikawinkan lagi dengan target selama  dua kali siklus estrus sudah bunting. Untuk mencapai target ini, disamping harus selalu dilakukan pengecekan tanda birahi, juga dilakukan pemberian ransum berprotein dan energi cukup tinggi untuk mendukung terjadinya estrus kembali setelah beranak
d.            Satu sampai dua bulan sebelum beranak, induk diberi ransum berprotein dan energi cukup tinggi untuk mendukung tercapainya kondisi badan yang cukup bagus saat beranak dan selama beberapa bulan awal menyusui pedetnya. Kondisi badan sapi induk yang cukup bagus ini disamping akan sangat mempengaruhi cepat timbulnya kembali estrus setelah beranak (anoestrus post partus), juga akan lebih menjamin produksi susunya sehingga pedet lebih terjamin kebutuhan nutrisinya untuk pertumbuhan badannya
Untuk mencapai beberapa target produksi pada teknik produksi bibit, disamping harus dilakukan pengaturan reproduksi seperti dijelaskan di atas, juga perlu dilakukan pengaturan tatalaksana pemeliharaan. Simulasi teknik produksi bibit berdasarkan konsep Sumadi (2006) yang telah dimodifikasi (Tabel 1) dapat menjelaskan teknik ini.
Tabel 1. Simulasi teknik produksi bibit pada 6 tahun pertama
Tahun usaha
I
II
III
IV
V
VI
Umur indukan/pejantan (th)
3/3
3/4
3-5/4-5
3-6/3-6
4-7/3-6
3-7/3-6
1.  Jumlah pejantan
25
50
50
50
50
50
2.  Jumlah indukan
200
400
600
800
1000
1000
3.  Jumlah pedet lahir (60 %)
120
240
360
480
600
600
4.  Kematian pedet pra sapih (5 %)
6
12
18
24
30
30
5.  Jumlah pedet lepas sapih
0
114
228
342
456
570
6.  Jumlah pedet lepas sapih jantan
0
57
114
171
228
285
7.  Jumlah pedet lepas sapih betina
0
57
114
171
228
285
8.  Jumlah jantan umur 12 bln (mati 1%)
0
0
56
113
169
226
9.  Jumlah betina umur 12  bln (mati 1%)
0
0
56
113
169
226
10.Jumlah jantan umur 24 bln (mati 1%)
0
0
55
112
167
224
11.Jumlah betina umur 24 bln (mati 1%)
0
0
55
112
167
224
12.Jumlah sapi pengganti pejantan
0
0
0
25
25
25
13.Jumlah sapi pengganti indukan
0
0
0
0
0
200
14.Jumlah bakalan jantan
0
0
55
87
142
199
15.Jumlah bakalan betina
0
0
55
112
167
24
16.Jumlah pejantan afkir
0
0
0
25
25
25
17.Jumlah indukan afkir
0
0
0
0
0
200
Produksi sapi yang dapat dijual

18.Sapi muda 24 bulan
0
0
110
199
309
223
19.Sapi afkir
0
0
0
25
25
225
Jumlah
0
0
110
224
334
448
Produksi sapi terhadap modal (%)
0
0
17
26
32
43
Keterangan : skala pemeliharaan sapi bibit indukan dan pejantan dapat diubah, tetapi akan menyebabkan meningkatnya imbangan kebutuhan antara pejantan dan indukan, serta menurunkan produksi sapi.

Dari gambaran simulasi tersebut tampak bahwa dengan modal/skala pemeliharaan induk secara bertahap dari 200 sampai 1000 ekor dan pejantan 50 ekor, pada tahun ketiga usaha sudah dapat menghasilkan sapi siap jual yang jumlahnya terus meningkat di tahun berikutnya. Sapi yang dihasilkan juga mulai mampu mencukupi kebutuhan untuk pengganti sapi bibit sumber pejantan dan indukan yang di afkir pada tahun ke 4 dan ke 6.
Untuk mendapatkan sapi calon bibit sumber dari anakan sapi bibit sumber, seleksi dengan teknik seperti di atas mulai dapat dilakukan saat pedet umur 205 dan 365 hari, karena berat badan pedet/sapi muda pada umur tersebut secara genetik nyata memberikan gambaran tentang potensi pertumbuhan ternak nantinya.

V. PEMELIHARAAN SAPI BIBIT
            Status fisiologis sapi yang digunakan sebagai modal awal usaha perbibitan, sebaiknya adalah sapi betina siap bunting dan sapi jantan siap sebagai pejantan. Penentuan modal awal sapi ini memang membutuhkan dana cukup besar, tetapi akan lebih murah dan lebih cepat menghasilkan sapi bibit dibandingkan apabila dimulai dari sapi yang umurnya lebih muda.
            Pemeliharaan sapi bibit sumber yang sudah terpilih secara morfologis (penampilan tubuh luarnya) dan silsilah keturunannya melalui kegiatan seleksi/penjaringan, adalah dimulai dengan pemeriksaan :
a.Kesehatan terhadap kemungkinan terserang/mengidap penyakit yang dapat ditularkan melalui perkawinan  seperti Brucellosis, Leptospirosis, Enzootic Bovine Loucosis dan Infectious Bovine Rhinotracheitis. Sapi pejantan harus bebas dari penyakit reproduksi, minimal terhadap keempat penyakit tersebut.
b.Uji kualitas dan kuantitas produksi semen sapi pejantan dengan kriteria persyaratan : pH 6,2 – 7,0; warna minimal putih susu; konsistensi minimal sedang; gerakan massa ++ ; motil minimal 70 %; konsentrasi di atas 100 juta/ml dengan jumlah sperma yang hidup di atas 70 % dan yang mati di bawah 30 % (Anonimus, 2003)
Apabila telah memenuhi kedua persyaratan tersebut, maka target pemeliharaan sapi bibit sumber berikutnya adalah mempercepat terjadinya kebuntingan melalui teknik perkawin an sesuai model pemeliharaannya (kandang kelompok atau individu) dan flushing, yaitu pemberian ransum yang mengandung protein dan energi tinggi (12 dan 65 %) untuk mempercepat terjadinya birahi/memperpendek days open sapi induk. Pada bibit sumber indukan yang jumlahnya ratusan ekor dan dikehendaki adanya pengaturan waktu beranak (berhubungan dengan pengaturan penjualan ternak dan ketersediaan pakan), flushing dapat dikombinasikan dengan tindakan sinkronisasi estrus (sapi-sapi induk dibuat mengalami estrus pada waktu yang bersamaan) agar sapi indukan bunting bersama-sama sesuai jadwal. Patokan sederhana untuk memperbesar keberhasilan terjadinya kebuntingan adalah ketepatan mengawinkan sapi betinanya, yaitu sekitar 10 – 14 jam sejak tanda-tanda estrus muncul (Bagley dan Evans, 2007). Sebagai contoh : sapi induk menunjukkan tanda-tanda estrus pada pagi hari maka harus sudah dikawinkan paling lambat sore harinya, sedangkan apabila tandanya sore hari maka perkawinan paling lambat pagi di hari berikutnya.
Apabila telah memasuki umur kebuntingan 7 – 8 bulan, sapi bibit ditempatkan di kandang beranak sistem individu sampai pedetnya berumur sekitar 2 bulan dan selama itu diberi ransum yang mengandung protein dan energi tinggi. Tujuan pemberian ransum ini, saat sebelum beranak (disebut steaming up) adalah membentuk kondisi badan yang bagus (skor sekitar 6 – 7, Gambar 9) ketika beranak/awal laktasi, sedangkan saat setelah beranak adalah memperkecil terjadinya penurunan berat badan induk karena menyusui pedetnya (Talib dan Siregar, 1999 ; Bestari dkk., 2000). Kondisi badan yang tetap cukup bagus pada sapi induk setelah laktasi sekitar 2 bulan, akan mempercepat terjadinya estrus kembali.
Setelah sapi induk beranak, pemeliharaan pedet diarahkan untuk mencegah terjadinya kematian karena kecelakaan (tidak segera menyusu ke induknya, terinjak sapi lain, terjepit, terjerat, dll) maupun karena kekurangan gizi terutama akibat induk yang kekurangan gizi (Putu dkk., 2000 ; Siregar dkk., 1999) sehingga produksi susunya tidak mencukupi kebutuhan pedetnya. Pada sapi induk, pemeliharaan diarahkan ke kontrol kesehatan melalui kecukupan konsumsi nutrisi dan pencegahan/pengobatan penyakit yang intensif. Upaya mencukupi kebutuhan nutrisi pada sapi induk di akhir masa laktasinya, dapat dilakukan bersamaan dengan tindakan flushing. Ketika pedet telah berumur 6 – 7 minggu, sapi induk dapat dikawinkan kembali untuk mempercepat terjadinya kebuntingan sehingga memperpendek calving interval. Apabila sistem pemeliharaannya secara kelompok, maka selama satu bulan induk beserta pedetnya yang masih menyusu ditempatkan di kandang kelompok yang ada pejantannya. Selama kebutuhan nutrisinya tercukupi, sapi induk yang sedang menyusui pedetnya tidak masalah apabila kembali bunting.
Pedet mulai dilatih untuk disapih pada umur 2 – 4 bulan (tergantung kondisi pertumbuhan pedetnya) dan sudah harus disapih total dari induknya setelah berumur 7 bulan. Salah satu bagian terpenting dalam pemeliharaan sapi bibit adalah saat lepas sapih sampai siap kawin. Begitu lepas sapih, pedet jantan dan betina yang seumur dipelihara dikandang secara kelompok sampai berumur sekitar 12 bulan. Setelah itu pemeliharaan tetap di kandang kelompok tetapi harus dipisah antara sapi jantan dengan betina untuk menghindari terjadi perkawinan (kebuntingan) antar sapi yang terlalu awal dan tidak dikehendaki.


VI. PENUTUP

Dengan menerapkan Teknologi perbibitan sapi potong ini diharapkan dapat memperbaiki Usaha perbibitan sapi potong yang  berorientasi untuk mendapatkan keuntungan dan ikut berperan penting dalam mendukung keberhasilan pencapaian program nasional kecukupan daging sapi/kerbau 2014,
DAFTAR BACAAN

Anonimus.2003. Semen Beku Sapi Bali UPTD Peternakan Prop. Bali. Dirjennak. Tabanan
Bagley,C.P and R.R. Evans 2007, Replacement Heifer Selection and management. Departemen of Agriculture Sciences. Texas A&M University Commerce. Mississippi. State University http//www pfizerah. Com/index_species.asp.drug/PU&species/BF&country/US&lang/EN\
Bestari.J.A.R. Siregar.P.SitumorangYulvian,S dan R.H.Matondang 2000 Penampilan Reproduksi sapi induk peranakan Limausin, Charolais, draugmaster dan Hereford pada program Ib di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera barat. Proc Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak Bogor
Putu.i.G.p Situmorang,M Winugroho dan T.D. chaniago.2000 Strategi Pemeliharaan pedet dalam rangka meningkatkan performans produksi dan reproduksi.Proc Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak Bogor